Dewasa ini banyak pasangan beda ras, suku atau etnis melakukan perkawinan beda agama. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa era globalisasi telah melanda seluruh kehidupan didunia tidak terkecuali di Indonesia sendiri. Banyaknya pekerja asing yang masuk ke Indonesia akhirnya menikah dengan wanita lokal Indonesia. Begitupula banyak warga negara Indonesia yang merantau ke Luar Negeri apakah karena tugas belajar atau kerja di sana akhirnya menikah dengan orang warga negara asing tempat Warga Negara Indonesia itu tinggal.
Jika kita mengacu
hukum di Negara kita, maka ada beberapa hal yang perlu di kaji atau di
pertimbangkan jika anda akan melakukan pernikahan beda agama.
Dasar hukum dari perkawinan beda agama yang dilakukan di Indonesia, mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bunyinya;
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata (Bugrlijke Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordinantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74). Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal ini tidak serta merta menghapus undang-undang perkawinan sebelumnya secara keseluruhan, melainkan kecuali telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Surat Ketua Mahkamah Agung No. MA/Pemb/o8o7/1975. Jakarta, 20 Agustus 1975 Kepada, para Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi dan para Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri Seluruh Indonesia, isinya di nomor 1 Bahwa :
UU No. 1 Tahun 1974 sebagai UU Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan karena masih berlakunya hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat.
Perhatikan antara lain pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 47 PP. No. 9 Tahun 1975 yang tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan dalam KUHPerdata (BW) Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (S.1933-74), Peraturan Perkawinan Campuran (S.1898-198), melainkan hanya sejauh telah diatur dalam UU ini.
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang belum diatur oleh undang-undang ini antara lain ;
Pasal 7 ayat (3) Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita ;
-Wanita yang beragama Islam ; Harus ada surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) dan apabila Kantor Urusan Agama (KUA) menolaknya, maka ia dapat memintakan keputusan dari Pengadilan negeri sepanjang Pengadilan berpendapat bahwa penolakan KUA ditinjau dari hukum positip tidak beralasan.
-Wanita yang beragama Kristen ; Harus ada suruat keterangan dari Kantor Catatan Sipil, apabila Kantor Catatan Sipil menolaknya, maka ia dapat meminta keputusan dari Pengadilan Negeri sepanjang Pengadilan berpendapat bahwa penolakan Kantor Catatan Sipil ditinjau dari segi hukum Positip tidak beralasan.
–Pasal 7 ayat (2) Gemengde Huwelijken Regeling(GHR), bahwa dasar penolakan Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil, tidak boleh berdasarkan beda agama, tetapi harus berdasarkan adanya halangan untuk melangsungkan perkawinan, karena si pria atau wanitanya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain atau adanya halangan lain-lainnya kecuali beda agama.
–Pasal 7 ayat (1) Gemengde Huwelijken Regeling (GHR), bahwa untuk menyelenggarakan perkawinan campuran, sebelumnya harus sudah terbukti, sicalon istri telah memenuhi syarat untuk dapat kawin yang persyaratannya ditentukan bagi calon istri Kristen umur yang cukup untuk kawin dan ijin kawin kalau belum cukup umur, sedangkan bagi wanita Islam yang akan melangsungkan perkawinan campuran harus dipenuhi dengan adanya wali dan saksi.
Sebagai contoh bagaimana cara melaksanakan pernikahan beda agama agar sah di dalam agama maupun pemerintah? Jika seorang muslim menikah dengan orang non muslim tapi tetap memeluk agama masing-masing?
Jawabannya adalah tidak bisa pernikahan beda agama dilakukakan di Indonesia, untuk menelaah lebih lanjut kasus ini maka ikuti uraian dan dalil-dalis serta argumentasi berikut ini.
Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat materiil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada hukum agama masing-masing pihak. Dalam hal ini perlu sedikit menjelaskan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama.
-Agama Islam-
Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
-Agama Kristen-
Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18).
-Agama Katolik-
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
-Agama Buddha-
Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
-Agama Hindu-
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat kita lihat apakah kemudian perkawinan beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masing-masing pihak).
Hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini.
Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil, namun tidak otomatis membuat perkawinan itu sah di mata hukum Indonesia karena hanya lembaga pencatat perkawinan.
Beberapa contoh nyata dari pernikahan agama yang dilakukan di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:
Dasar hukum dari perkawinan beda agama yang dilakukan di Indonesia, mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bunyinya;
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata (Bugrlijke Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordinantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74). Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal ini tidak serta merta menghapus undang-undang perkawinan sebelumnya secara keseluruhan, melainkan kecuali telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Surat Ketua Mahkamah Agung No. MA/Pemb/o8o7/1975. Jakarta, 20 Agustus 1975 Kepada, para Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi dan para Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri Seluruh Indonesia, isinya di nomor 1 Bahwa :
UU No. 1 Tahun 1974 sebagai UU Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan karena masih berlakunya hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat.
Perhatikan antara lain pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 47 PP. No. 9 Tahun 1975 yang tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan dalam KUHPerdata (BW) Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (S.1933-74), Peraturan Perkawinan Campuran (S.1898-198), melainkan hanya sejauh telah diatur dalam UU ini.
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang belum diatur oleh undang-undang ini antara lain ;
Pasal 7 ayat (3) Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita ;
-Wanita yang beragama Islam ; Harus ada surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) dan apabila Kantor Urusan Agama (KUA) menolaknya, maka ia dapat memintakan keputusan dari Pengadilan negeri sepanjang Pengadilan berpendapat bahwa penolakan KUA ditinjau dari hukum positip tidak beralasan.
-Wanita yang beragama Kristen ; Harus ada suruat keterangan dari Kantor Catatan Sipil, apabila Kantor Catatan Sipil menolaknya, maka ia dapat meminta keputusan dari Pengadilan Negeri sepanjang Pengadilan berpendapat bahwa penolakan Kantor Catatan Sipil ditinjau dari segi hukum Positip tidak beralasan.
–Pasal 7 ayat (2) Gemengde Huwelijken Regeling(GHR), bahwa dasar penolakan Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil, tidak boleh berdasarkan beda agama, tetapi harus berdasarkan adanya halangan untuk melangsungkan perkawinan, karena si pria atau wanitanya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain atau adanya halangan lain-lainnya kecuali beda agama.
–Pasal 7 ayat (1) Gemengde Huwelijken Regeling (GHR), bahwa untuk menyelenggarakan perkawinan campuran, sebelumnya harus sudah terbukti, sicalon istri telah memenuhi syarat untuk dapat kawin yang persyaratannya ditentukan bagi calon istri Kristen umur yang cukup untuk kawin dan ijin kawin kalau belum cukup umur, sedangkan bagi wanita Islam yang akan melangsungkan perkawinan campuran harus dipenuhi dengan adanya wali dan saksi.
Sebagai contoh bagaimana cara melaksanakan pernikahan beda agama agar sah di dalam agama maupun pemerintah? Jika seorang muslim menikah dengan orang non muslim tapi tetap memeluk agama masing-masing?
Jawabannya adalah tidak bisa pernikahan beda agama dilakukakan di Indonesia, untuk menelaah lebih lanjut kasus ini maka ikuti uraian dan dalil-dalis serta argumentasi berikut ini.
Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat materiil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada hukum agama masing-masing pihak. Dalam hal ini perlu sedikit menjelaskan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama.
-Agama Islam-
Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
-Agama Kristen-
Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18).
-Agama Katolik-
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
-Agama Buddha-
Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
-Agama Hindu-
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat kita lihat apakah kemudian perkawinan beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masing-masing pihak).
Hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini.
Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil, namun tidak otomatis membuat perkawinan itu sah di mata hukum Indonesia karena hanya lembaga pencatat perkawinan.
Beberapa contoh nyata dari pernikahan agama yang dilakukan di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale
Salah satu pasangan
selebriti beda agama namun tetap rukun adalah Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale.
Nia Zulkarnaen yang beragama Islam menikah dengan aktor dan musikus Ari
Sihasale yang menganut agama Katolik pada tahun 2003 silam. Karena berbeda
keyakinan, keduanya pun memilih untuk menggelar pernikahan di Perth,
Australia.Perbedaan bukan masalah untuk Nia dan Ari. Baik Nia maupun Ari
sama-sama saling menghormati agama yang dianutnya. Misalnya saja, Ari sendiri
mengaku selalu mendukung Nia yang berpuasa di kala Ramadan tiba. Dari hasil
pernikahannya dengan Ari, pemilik nama lengkap Vanya Zulkarnaen tersebut
dikaruniai seorang anak laki-laki.
2. Jeremy Thomas dan Ina Indayanti
Cinta memang tak
memandang status dan perbedaan. Mungkin hal itulah yang terjadi pada pasangan
Jeremy Thomas dan Ina Indayanti. Kedua model yang menganut keyakinan yang
berbeda ini melangsungkan pernikahan dan setelahnya tetap menganut agama
masing-masing.Dari pernikahan yang sudah berlangsung 19 tahun tersebut, Jeremy
dan Ina Thomas dikaruniai dua orang anak yaitu Axel Matthew Thomas dan Valerie
Teresa Thomas. Bahkan, pasangan selebriti yang satu ini dikenal sebagai keluarga
yang selalu menjaga keharmonisan. Namun, kini Ina sudah pindah agama mengikuti
keyakinan yang dianut sang suami.
3. Frans Mohede dan Amara
Witing tresno jalaran
soko kulino. Begitulah pepatah mengatakan untuk kehidupan asmara Frans Mohede
dan Amara yang berawal dari sebuah grup musik Lingua yang mereka besarkan
bersama. Tak peduli perbedaan keyakinan yang dianut, Frans yang beragama
Kristen dan Amara yang merupakan seorang muslim memutuskan untuk menikah di
Hong Kong pada 1 Desember 1999 silam.Seiring dengan berjalannya waktu, Frans dan
Amara mengaku sudah tidak pernah meributkan masalah rumah tangga. Akan tetapi
pernikahan beda agama tersebut ditentang oleh ibunda Amara, Itje Komar yang
menolak Frans sebagai bagian dari keluarganya.
4. Irfan Bachdim dan Jennifer Kurniawan
Nah yang terakhir, pernikahan beda
keyakinan antara pesepakbola Irfan Bachdim dan model Jennifer Kurniawan.
Keduanya melangsungkan pernikahan pada 8 Juli 2011 lalu. Namun sayangnya,
pernikahan Irfan dan Jennifer menuai kekecewaan pihak keluarga besar striker
tersebut yang tak begitu suka dengan profesi Jennifer Kurniawan sebagai model
yang kerap berpose seksi.Irfan dan Jennifer memilih untuk melangsungkan
pernikahan di Belanda yang memungkinkan adanya pernikahan beda keyakinan. Meski
beda agama, rumah tangga Irfan Bachdim dan Jennifer Kurniawan berjalan harmonis
hingga sekarang. Ditambah lagi dengan hadirnya buah hati mereka, Kiyomi Bachdim
dan Kenji Zizou Bachdim.
(Dihimpun dari berbagai sumber)